Jalan kehidupan Bung Hatta bisa jadi akan berbeda jika Bung Hatta menuruti kemauan ayahnya. Yakni agar ia ikut pamannya bermukim dan belajar agama di Mekkah, supaya kelak bisa melanjutkan kuliah di Al-Azhar, Kairo. Ia mungkin hanya akan menjadi seorang ulama di tanah kelahirannya, Bukittinggi, bukan proklamator sekaligus Wakil Presiden RI Pertama.
Ya, keluarga dari pihak ayah Bung Hatta memang lebih menginginkan Bung Hatta melanjutkan kiprah kakeknya, seorang ulama terpandang di Batuhampar. Namun, Bung Hatta tidak memasuki pintu sejarah dari Mekkah melainkan dari Belanda, negeri yang pada waktu itu tengah menjajah bangsanya. Belajar di negeri penjajah justru membangkitkan kesadaran bahwa tanpa generasi yang rela terjun memperjuangkan nasib bangsanya, mustahil rakyat akan memperoleh kemerdekaan.
Bung Hatta memutuskan menjadi generasi yang sadar bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan. Maka sambil belajar ilmu ekonomi ia memupuk kepekaan dan kemampuan dirinya dengan berorganisasi. Pada 3 Agustus 1921 ia memulai perjalanan panjang ke negeri Belanda dengan menumpang kapal "Tambora" milik Rotterdamse Lloyd dengan membawa sejuta harapan setelah tamat dari Prins Hendrik Handels School di Batavia (sekarang Jakarta). Ia menghabiskan perjalanan selama satu bulan. Tanggal 5 September kapal yang ia tumpangi merapat di Pelabuhan Rotterdam. Di kota ini perjalanan sejarah Bung Hatta dimulai, ketika ia secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa di Handelshoge School, Sekolah Tinggi Dagang.
Sebagai seorang mahasiswa, beliau sadar betul bahwa sebagian tanggung jawab untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan ada di pundak beliau, dan di Belanda ikhtiar ke arah itu tengah dilakukan oleh rekan-rekan yang lebih dulu sampai. Mereka telah membentuk wadah perjuangan melaui jalur politik, Indische Vereeniging. Sejak kehadiran beliau, beliau secara sadar memasuki organisasi tersebut. Beliau berharap dengan bergabung ke organisasi tersebut mental politiknya akan terbentuk. Dan beliau memang benar. Indische Vereeniging telah mengantarkan beliau ke panggung yang lebih luas, bukan hanya di Belanda, tapi tingkat internasional.
Pada bulan Februari 1922, Indische Vereeniging mengadakan rapat untuk memilih pengurus baru. Selain mengganti pengurus, ternyata peserta rapat juga sepakat untuk mengganti nama organisasi tersebut menjadi Indonesische Vereeniging. Penngantian nama dimaknai bahwa gagasan yang konkrit telah tumbuh di kalangan intelektual Indonesia yang sedang menimba ilmu di Belanda, termasuk di benak Bung Hatta. Setahun kemudian Bung Hatta aktif terlibat menjadi pengurus organisasi ini sampai akhirnya terpilih menjadi ketuanya pada tahun 1926, setelah nama organisasi tersebut diganti lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 8 Februari 1925. Dengan menjadi ketua, maka langkah beliau ke dunia politik makin terbuka. Sikap organisasi yang semakin keras terhadap pemerintah Belanda telah menyebabkan organisasi ini dianggap melakukan pertentangan. Orang tua para anggotanya diancam oleh pemerintah Belanda, karena membiarkan anaknya menjadi anggota PI atau mereka sendiri keluar dari jabatan negara, jika orang tuanya pegawai pemerintah Belanda.
Bung Hatta mulai aktif mempropagandakan Indonesia ke berbagai kawasan di Eropa. Dalam berbagai kesempatan ia menuntut penggunaan kata "Indonesia" bukan "Hindia Belanda". Berbagai konggres ia hadiri, terutama yang berkaitan dengan gerakan anti kolonialisme, sampai akhirnya sepulang menghadiri konferensi Liga Internasional Wanita yang berlangsung di Swiss, Bung Hatta dan tiga rekannya ditangkap polisi Belanda. Beliau dituduh menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Selama lima setengah bulan beliau ditahan dan di interogasi berulang kali sampai akhirnya diajukan ke sidang pengadilan. Bung Hatta menolak didampingi seorang pengacara, beliau akan melakukan pembelaan oleh dirinya sendiri.
Sidang di pengadilan akhirnya memutuskan bahwa tuduhan terhadap beliau tidak dapat dibuktikan dan beliau akhirnya dibebaskan. Sebelas tahun lamanya Bung Hatta menempuh pendidikan di Belanda. Tanggal 5 Juli 1932 beliau dinyatakan lulus sebagai sarjana ekonomi. Waktu studinya demikian panjang lantaran aktivitas beliau di dunia pergerakan mahasiswa. Seminggu setelah dinyatakan lulus beliau kembali ke tanah air. Selain gelar sarjana, oleh-oleh lain yang amat penting adalah 16 peti yang berisi buku. Bung Hatta adalah seorang pecinta buku.
Bulan September 1932 Bung Hatta berjumpa dengan Bung Karno untuk kali pertama. Sejak saat itu, beliau berdua sperti dipertautkan alam, berjuang bersama membela tanah air. Beberapa kali mereka menikmati pembuangan oleh pemerintah jajahan, kadang bersama namun lebih banyak ditempatkan di tempat yang berbeda. Puncak kerjasama keduanya terpatri abadi pada teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di sana nama mereka berdua tertera sebagai wakil bangsa Indonesia.
Walaupun selalu seiring, keduanya sebenarnya dipersatukan oleh perbedaan. Polemik pertama yang terjadi di antara keduanya mengenai strategi perjuangan terjadi pada dua surat kabar yang berbeda. Perbedaan pandangan antara keduanya dalam menyikapi berbagai persoalan terus mereka bawa sampai Indonesia merdeka dan keduanya memimpin Republik Indonesia. Puncak perbedaan itu terjadi pada tahun 1956 ketika Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Berpisah Dengan Bung Karno
Tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama sejak kemerdekaan. Bagi Bung Hatta pemilihan umum adalah instrumen paling demokratis untuk melakukan refreshing pemerintahan. Beliau beranggapan, dengan selesainya pemilu maka pada tempatnya pejabat-pejabat negara diganti. Namun perkembangan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan. Bung Hatta berbeda paham dengan Bung Karno. Bung Karno semakin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Berbagai masukan dari Bung Hatta, dari yang lunak samapi yang keras diabaikan begitu saja.
Di sisi lain, sikap parai-partai politik juga mengecewakan. Mereka saling menyerang dan bersaing secara tidak sehat. Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagai partijman (orang partai). Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara. Posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan presiden sedemikian besar.
Perbedaan pandangan dengan Bung Karno juga tejadi saat menyikapi terjadinya revolusi. Saat Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya. Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsanya, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, beliau menjawab, "Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa." Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak gila kekuasaan.
Setelah menjadi orang biasa, langkah Bung Hatta sering kali mendapat kesulitan. Bukunya yang berjudul Demokrasi Kita yang terbit pada tahun 1960 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Yang sudah beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut. Buku itu dianggap banyak mengkritik Bung Karno. Bung Hatta melalui buku tersebut memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan. Beliau ingin memberikan kesempatan pada karibnya, Bung Karno untuk membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya. "Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan."
Pada tahun itu pula status Bung Hatta sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut. Bung Hatta dilarang mengajar, ruang gerak beliau dibatasi. Apakah perlakuan yang diterima Bung Hatta resmi perintah presiden atau hanya tindakan para pembantu presiden yang over acting, tidak ada yang tahu persisnya.
Tidak Pernah Ada Dendam
Walaupun secara kenegaraan, Bung Hatta sudah berpisah dari Bung Karno, namun hubungan keduanya sebagai sahabat tetap baik. Tidak ada dendam pribadi di antara keduanya. Serang-menyerang antar keduanya, baik secara terbuka atau melalui surat kabar sudah di mulai sejak zaman pergerakan. Namun menyangkut hubungan pribadi, mereka saling menjaga agar tidak menyinggung perasaan dan tidak menyakiti hati masing-masing. Pada suatu saat di tahun 1962 Bung Hatta sedang sakit. Pada saat itu Bung Karno menyempatkan diri untuk menengok sahabatnya tersebut, lalu meutuskan agar Bung Hatta memperoleh perawatan yang baik di luar negeri. Akhirnya Bung Hatta dapat berobat ke Swedia.
Begitu juga sebaliknya, ketika Bung Karno menjadi tahanan rumah pasca peristiwa G 30 S/PKI, Bung Hatta tetap menaruh perhatian atas nasib karib beliau tersebut. Pertemuan antar keduanya tidak mungkin lagi karena penguasa saat itu melarang siapapun untuk menemui Bung Karno, sampai akhirnya jatuh sakit yang parah. Setelah melihat penderitaan Bung Karno yang sudah sedemikian parah, Bung Hatta meminta kepada Presiden Suharto agar Bung Karno dirawat di rumah sakit. Presiden Suharto akhirnya mengijinkan dirawat di RS Gatot Subroto tapi dengan pengawalan yang sangat ketat dan perawatan ala kadarnya. Bung Hatta kemudian menemui Bung Karno di rumah sakit, yang sayangnya pertemuan tersebut adalah yang terakhir , karena dua hari setelah Bung Hatta menjenguk Bung Karno, Bung Karno kemudian wafat.
Pribadi Yang Sederhana
Bung Hatta terkenal sebagai pribadi yang sederhana. Sebagai seorang pejabat negara, beliau adalah seorang yang jujur dan bersih, serta hidup hemat. Jika melakukan kunjungan ke luar negeri, beliau hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tak pernah lebih dari itu. Saking sederhananya, ketika beliau telah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden dan menjadi pensiunan, beliau hampir tidak mampu membayar rekening air minum dan rekening pembangunan daerah.
Padahal sebagai seorang wakil presiden, kalau saja beliau mau, pintu bisnin pasti cukup terbuka lebar karena beliau memiliki banyak kawan. Namun beliau memilih hidup sebagai "Bapak Bangsa" yang tidak ingin ternoda dengan perilaku menyimpang ketika harus menjalani profesi yang lain. Kisah kesederhanaan beliau selalu menjadi teladan bagi generasi berikutnya.
Nah, setelah kita baca sekelumit dari perjalanan hidup Bung Hatta semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita. Thanks buat kalian semua yang sudah mengunjungi blog kami. (dari berbagai sumber)
Walaupun selalu seiring, keduanya sebenarnya dipersatukan oleh perbedaan. Polemik pertama yang terjadi di antara keduanya mengenai strategi perjuangan terjadi pada dua surat kabar yang berbeda. Perbedaan pandangan antara keduanya dalam menyikapi berbagai persoalan terus mereka bawa sampai Indonesia merdeka dan keduanya memimpin Republik Indonesia. Puncak perbedaan itu terjadi pada tahun 1956 ketika Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Berpisah Dengan Bung Karno
Tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu yang pertama sejak kemerdekaan. Bagi Bung Hatta pemilihan umum adalah instrumen paling demokratis untuk melakukan refreshing pemerintahan. Beliau beranggapan, dengan selesainya pemilu maka pada tempatnya pejabat-pejabat negara diganti. Namun perkembangan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan. Bung Hatta berbeda paham dengan Bung Karno. Bung Karno semakin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Berbagai masukan dari Bung Hatta, dari yang lunak samapi yang keras diabaikan begitu saja.
Di sisi lain, sikap parai-partai politik juga mengecewakan. Mereka saling menyerang dan bersaing secara tidak sehat. Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagai partijman (orang partai). Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara. Posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan presiden sedemikian besar.
Perbedaan pandangan dengan Bung Karno juga tejadi saat menyikapi terjadinya revolusi. Saat Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya. Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsanya, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, beliau menjawab, "Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa." Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak gila kekuasaan.
Setelah menjadi orang biasa, langkah Bung Hatta sering kali mendapat kesulitan. Bukunya yang berjudul Demokrasi Kita yang terbit pada tahun 1960 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Yang sudah beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut. Buku itu dianggap banyak mengkritik Bung Karno. Bung Hatta melalui buku tersebut memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan. Beliau ingin memberikan kesempatan pada karibnya, Bung Karno untuk membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya. "Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan."
Pada tahun itu pula status Bung Hatta sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut. Bung Hatta dilarang mengajar, ruang gerak beliau dibatasi. Apakah perlakuan yang diterima Bung Hatta resmi perintah presiden atau hanya tindakan para pembantu presiden yang over acting, tidak ada yang tahu persisnya.
Tidak Pernah Ada Dendam
Walaupun secara kenegaraan, Bung Hatta sudah berpisah dari Bung Karno, namun hubungan keduanya sebagai sahabat tetap baik. Tidak ada dendam pribadi di antara keduanya. Serang-menyerang antar keduanya, baik secara terbuka atau melalui surat kabar sudah di mulai sejak zaman pergerakan. Namun menyangkut hubungan pribadi, mereka saling menjaga agar tidak menyinggung perasaan dan tidak menyakiti hati masing-masing. Pada suatu saat di tahun 1962 Bung Hatta sedang sakit. Pada saat itu Bung Karno menyempatkan diri untuk menengok sahabatnya tersebut, lalu meutuskan agar Bung Hatta memperoleh perawatan yang baik di luar negeri. Akhirnya Bung Hatta dapat berobat ke Swedia.
Begitu juga sebaliknya, ketika Bung Karno menjadi tahanan rumah pasca peristiwa G 30 S/PKI, Bung Hatta tetap menaruh perhatian atas nasib karib beliau tersebut. Pertemuan antar keduanya tidak mungkin lagi karena penguasa saat itu melarang siapapun untuk menemui Bung Karno, sampai akhirnya jatuh sakit yang parah. Setelah melihat penderitaan Bung Karno yang sudah sedemikian parah, Bung Hatta meminta kepada Presiden Suharto agar Bung Karno dirawat di rumah sakit. Presiden Suharto akhirnya mengijinkan dirawat di RS Gatot Subroto tapi dengan pengawalan yang sangat ketat dan perawatan ala kadarnya. Bung Hatta kemudian menemui Bung Karno di rumah sakit, yang sayangnya pertemuan tersebut adalah yang terakhir , karena dua hari setelah Bung Hatta menjenguk Bung Karno, Bung Karno kemudian wafat.
Pribadi Yang Sederhana
Bung Hatta terkenal sebagai pribadi yang sederhana. Sebagai seorang pejabat negara, beliau adalah seorang yang jujur dan bersih, serta hidup hemat. Jika melakukan kunjungan ke luar negeri, beliau hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tak pernah lebih dari itu. Saking sederhananya, ketika beliau telah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden dan menjadi pensiunan, beliau hampir tidak mampu membayar rekening air minum dan rekening pembangunan daerah.
Padahal sebagai seorang wakil presiden, kalau saja beliau mau, pintu bisnin pasti cukup terbuka lebar karena beliau memiliki banyak kawan. Namun beliau memilih hidup sebagai "Bapak Bangsa" yang tidak ingin ternoda dengan perilaku menyimpang ketika harus menjalani profesi yang lain. Kisah kesederhanaan beliau selalu menjadi teladan bagi generasi berikutnya.
Nah, setelah kita baca sekelumit dari perjalanan hidup Bung Hatta semoga bisa menjadi inspirasi bagi kita. Thanks buat kalian semua yang sudah mengunjungi blog kami. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar