Silahkan berkomentar mengenai blog ini atau artikel yang terdapat dalam blog ini. Mohon komentar dengan bahasa yang baik dan benar, serta tiduk menyinggung SARA. trims :)
Mohon maaf juga jika rancangan blog saya ini terlalu Narsis.

My Twitter : @horta_boy_z
gravatar

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Ketujuh)

  Seorang murid mengangkat suara kepada Al-Mustafa sewaktu mereka sedang duduk berteduh di bawah rindangan pohon putih, "Aku sangat takut pada waktu yang begitu saja melaju dan menghancurkan masa muda kami, Guru. Apa yang sebenarnya diberikan waktu kepada kami, Guru?"
  "Ambillah sekarang segenggam tanah," jawab Al-Mustafa. "Apakah kau temukan di balik gumpalannya sebutir benih atau seutas cacing? Seumpama tanganmu besar dan kuat, niscaya benih-benih itu akan menjelma hutan rimba dan cacing itu akan menjelma bidadari juwita. Ingatlah, tahun-tahun yang mengubah benih-benih menjadi hutan rimba dan cacing-cacing menjadi bidadari juwita adalah masa kini yang bergulir sepanjang tahun.
  Musim apakah yang hidup sepanjang tahun kalau bukan pikiramu itulah yang sebenarnya berubah? Musim semi adalah kebangkitan di balik hatimu. Musim panas adalah pengakuan atas kesuksesanmu. Tidakkah cuma musim gugur yang meninggalkanmu yang melagukan dongeng tidur bagi mereka yang masih kanak-kanak? Tidakkah musim dingin itu adalah tidur panjang yang penuh dengan mimpi-mimpi yang merindukan musim-musim lainnya? Begitukah?"
  Seorang murid Al-Mustafa yang selalu ingin tahumengamati tumbuh-tumbuhan yang kembangnya merekah merambati pohon-pohon sisamor. "Guru, lihatlah benalu itu," ucapnya. "Apa yang dapat engkau ceritakan tentangnya? Dengan sepasang mata yang lelah mereka mencuri cahaya kesetiaan dari anak-anak matahari dan mengurasi saripati yang mengalir ke dahan-dahan dan daun-daunnya."
  Al-Mustafa berkata, "Kawanku, kita semua sebenarnya adalah benalu. Kita yang membanting tulang untuk menyulap tanah menjadi kehidupan yang menggairahkan sungguh tidaklah lebih agung dibandingkan mereka yang langsung mendapatkan anugerah kehidupan dari tanah sekalipun tidak mengerti makna tanah itu. Apakah merupakan suatu kewajiban bagi seorang ibu untuk bergumam pada anaknya : 'Engkau akan kuserahkan ke hutan rimba. Ibumulah yang lebih mulia, tapi engkau menjadikanku, hatiku dan tanganku sangat lelah.' Atau tidak salahkah bila seorang penyanyi tiba-tiba menyesalkan iramanya dengan menukas : 'akibat suaramu yang telah menghabiskan nafasku, kini pulanglah engkau ke gua gemuruhmu tempat engkau berasal.' Tepatkah bila seorang pengembala berujar pada anak kudanya : 'Aku tak akan bisa lagi menuntunmu ke sana karena padang rumput telah gundul. Lebih baik kau kupotong dan kukorbankan untuk sebuah persembahan.'
  Kawanku, semua hal terjawab sebelum dipersoalkan. Sebagaimana mimpi-mimpimu, semuanya terwujud sebelum engkau tenggelam dalam lelap tidurmu. Kita yang hidup menurut hukum alam niscaya saling bergantung, dari dulu dan sampai kelak yang tak terbatas. Lebih baik kita hidup dalam kebaikan dan saling mengasihi. Kita saling mencari untuk mengusir kesendirian kita. Dan kita akan mengarungi jalanan manakala kita tidak lagi menyimpan sekerat hati yang sudi duduk berdampingan.
  Sahabat dan saudaraku. Percayalah betapa jalan-jalan akan terasa lebih lebar membentang bila bersama dengan sahabat-sahabatmu. Tanaman yang menumpang hidup di atas tanaman lain menghirup susu bumi dalam kesenyapan malam yang indah, sementara bumi mereguknya dari dada matahari dalam mimpi-mimpinya yang sarat dengan kesejukan. Matahari, juga diriku, engaku dan semua yang bersemayam disana, berada dalam penghargaan yang setara di antara pesta-pora Raja yang senantiasa membuka pintu istananya dan menyuguhkan meja jamuannya dengan rapi.
  Kawanku, semua yang menumpang hidupa di atas semua yang hidup serta semua yang hidup dalam iman sungguh tiada berbatas, itulah kebebasan Yang Tertinggi.
(Kahlil Gibran)

Entri Populer